Penyuluh Pertanian tidak Seharusnya Malu

Minggu terakhir bulan September 2011, berkembang berita di media massa nasional, bahwa penyuluh pertanian enggan ke sawah. Mereka malu program pembangunan pertanian tidak berjalan di daerahnya. Petani ditekan masalah pupuk yang langka dan mahal, serta benih unggul yang sulit diperoleh; namun penyuluh tidak mampu berbuat apa-apa.

Sikap penyuluh seperti ini merupakan dampak dari kesalahan pemahaman tentang posisi tenaga penyuluh. Kekeliruan ini dimiliki oleh media massa, serta bahkan pada penyuluh itu sendiri. Semestinya, penyuluh bukannya tidak harus malu, namun justeru harus semakin dekat dengan petani. PPL bersama-sama dengan petani dan stakeholders lain harus saling membantu untuk memecahkan hambatan ini. PPL jangan meninggalkan petani sendiri dengan berbagai persoalannya.

Pemahaman yang kurang tepat tentang siapa penyuluh dan bagaimana seharusnya memposisikannya, merupakan masalah yang berulang sejak zaman Bimas tahun 1960-an. Posisi penyuluh menjadi ajang tarik ulur semenjak tahun 1970-an awal sampai era reformasi sekarang. Karena itulah, tokoh-tokoh penyuluhan dengan gigih telah berusaha memperjuangkan posisi yang ideal bagi penyuluh di hadapan pemerintah. Mereka berusaha mendesakkan kebijakan yang kuat dan tegas, dengan memimpikan posisi yang terpisah dari pemerintah.

Mimpi ini mulai terwujud sebagai mana tercantum dalam UU No 16 tahun 2006. UU ini merupakan impian dari kalangan ahli penyuluhan semenjak dahulu, yaitu “membebaskan” posisi penyuluh dari perangkap sebagai petugas pemerintah. Penyuluh bukanlah semata hanya pelaksana program-program pemerintah. Peran utama penyuluh adalah sebagai pendidik petani, lebih mulia dari sekedar staf lapang belaka.

Sebagaimana jelas terbaca pada UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; penyuluh bekerja untuk peningkatan sumber daya manusia. Pada Pasal 1 disebutkan, bahwa sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Intinya, penyuluhan pertanian  adalah proses pembelajaran, bukan semata petugas lapang yang hanya memperlancar pelaksanaan program.

Dalam kondisi saat ini dimana pelayanan prasarana pertanian tidak sesuai harapan, semestinya penyuluh tetap mendampingi petani, mendiskusikan dan mencari solusi kreatif dari apa sumber daya yang ada dan mungkin dijalankan. Soal “rasa malu” tersebut tidaklah pada tempatnya. Perasaan ini timbul karena penyuluh memposisikan dirinya sebagai orang pemerintah, karena mereka PNS. Padahal, PPL adalah agen of change, bukan semata agen pembangunan. Meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya adalah tujuan utama dari pembangunan pertanian; dimana program pembangunan hanyalah salah satu alat belaka.

Penyuluh di era Bimas memang tumpang tindih dengan posisi sebagai pelaksana program. Mereka tidak sempat mempraktekkan sistem kerja yang ideal, dan terperangkap dalam metode “dipaksa, terpaksa, dan terbiasa”. Saat ini, semestinya metode ini sudah harus ditinggalkan.

Sebagai tindak lanjut dari amanat UU di atas, Kementerian Pertanian telah menluncurkan program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Program ini merupakan upaya mendudukkan, memerankan, memfungsikan, dan menata kembali penyuluhan pertanian agar terwujud satu kesatuan pengertian korps penyuluh, satu kesatuan arah dan satu kesatuan kebijakan. Salah satu tujuan dari RPP adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas penyuluhan, serta memenuhi jumlah tenaga Penyuluh Pertanian yang belum memadai.

Pemerintah mengimpikan komposisi “satu desa satu penyuluh”. Namun, dari total 74.683 desa di Indonesia, jumlah penyuluh pertanian PNS belum sampai setengahnya. Sampai tahun 2010, jumlah penyuluh PNS baru sebanyak 27.922 orang. Untuk menutupi ini diambil kebijakan untuk mengangkat Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Sampai pada tahun 2009, telah ada sebanyak 24.608 orang tenaga THL. Sayangnya, tidak sebagaimana PPL di era 1980-an, mereka tidak memperoleh pelatihan dan dukungan yang cukup. Mereka tidak cukup bekal untuk menghadapi petani. Bekal teknisnya lemah, sedangkan kemampuan manajemen dan sosiologis dasar tentang petani dan masyarakat desa juga rendah.

Persepsi yang juga keliru adalah memandang bahwa penyuluh hanya PPL yang bersatus PNS. Dalam UU yang baru ini, ada pula PPL dari kalanga swasta serta petani yang disebut dengan “PPL swadaya”. Ketiga macam PPL ini bekerja bersama memberdayakan seluruh pelaku usaha pertanian dengan meningkatkan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi. Selain itu, mereka juga bertugas melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.

Sampai saat ini, pengembangan PPL swasta dan swadaya belum memiliki program yang jelas dan memadai. Persoalan pupuk dan benih yang langka dan mahal akan lebih mudah diurai jika PPL dari PNS dapat menjalin kerjasama untuk saling menolong dengan PNS swasta dan swadaya.

******

Indonesia ga usah swasembada ?

Judul: “OECD: Pertanian RI Salah Arah. Fokus pada Pencapaian Swasembada Pangan
Harian Kompas,  11 Oktober 2012.
(Keterangan: yang ditulis HITAM-ITALIC adalah tulisan asli dari berita tersebut, dan yang BIRU-TEGAK adalah komentarnya).
                                                          
“Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dalam laporannya menyatakan perhatian Indonesia terhadap pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada merupakan kebijakan yang salah arah. Skema subsidi pertanian baik subsidi pupuk maupun raskin perlu direformasi. OECD juga mendorong agar Indonesia meningkatkan investasi sektor pertanian, membuka lebih luas pasar produk pertanian dalam perdagangan internasional, dan mulai meninggalkan tujuan swasembada pangan”

Saran ini sangat menyentak, terutama point untuk membuka pasar dan meninggalkan tujuan swasembada. Maksudnya bahwa kita ga usah swasembada, gantungkan saja pada pasar? Wah ini pendapat yang bakal menuai protes keras. Betapa sering kita diskusi bagaimana agar mencapai swasembada, semua program diarahkan untuk mencapai swasembada, semua daya dan upaya kita tumpahkan demi swasembada; OECD bilang ga perlu. Wow ini sangat-sangat ga bisa diterima.

Presiden Sukarno, dan bahkan sampai sekarang, presiden dan pejabat-pejabat pemerintahan berkali-kali menyampaikan bahwa pangan adalah urusan hidup mati, kehormatan bangsa, identitas kita, dst. Artinya, pangan ga butuh analisis ekonomi lagi. Bukan soal rugi atau untung, ga penting kita ga kompetitif; ..... pangan harus kita penuhi sendiri. Ini sikap kita, titik. Ga pakai debat-debat lagi.

Memang, benar juga, kadang-kadang kita ga konsisten juga. Sementera  yang lain sibuk pidato, entah beneran entah tidak, para importir kedelai dan jagung sibuk kasak-kusuk sendiri. Ini bisnis yang besar Bro, ratusan milyar bahkan trilyunan. Siapa sudi periuk nasinya kering.

“Demikian hasil kajian OECD yang disampaikan ke Kementerian Pertanian, Rabu (10/10), di Jakarta. OECD merupakan organisasi kerja sama ekonomi pembangunan yang beranggotakan negara-negara maju, di antaranya AS, Inggris, Australia, Kanada, Jepang, dan Jerman”.

Pantas lah mengapa pendapat mereka demikian. Rupanya hampir seluruh anggotanya adalah negara maju. Lihat webnya di: http://www.oecd.org/ ga ada negara Selatan yang masuk jadi anggotanya. Ya jelas aja cara fikirnya beda.

“Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD Ken Ash mengungkapkan, kajian kebijakan pertanian OECD mendorong penanaman modal swasta yang berkelanjutan pada sektor pertanian Indonesia. Ini penting guna meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, memaksimalkan manfaat pembangunan dari sektor pertanian yang kuat, dan mencapai ketahanan pangan”.

Masuknya swasta di subsektor pangan agak riskan, kalau di perkebunan oke lah. Pelaku pertanian pangan (setidaknya padi, jagung, dan kedelai) adalah petani-petani kecil. Mereka akan tersingkir, ga akan mampu menyaingi efisiensi dan efektivitas perusahaan swasta.

“Diversifikasi produksi padi dengan komoditas bernilai tinggi, seperti tanaman buah dan sayuran serta tanaman perkebunan, telah berkontribusi pada peningkatan penghasilan dan akses pangan banyak rumah tangga tani. Adanya kemajuan lebih lanjut ke sana dimungkinkan. OECD juga menyebutkan, proteksi terhadap impor menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi pertumbuhan produktivitas pertanian, dan meningkatkan biaya pangan untuk konsumen masyarakat miskin”.

Ini saran yang sudah basi. Apa ini terkait dengan direvisinya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang impor hortikultura ya? Kebetulan waktunya deketan sih. Sikap pemerintah yang sebelumnya galak agak melunak pada PP terakhir ini.

“Kebijakan non-tarif yang lebih terbuka akan mendorong perdagangan dan memungkinkan konsumen Indonesia mengakses pangan di pasar internasional dengan lebih baik”.
Jelas, mereka sangat mendorong kita masuk pasar. Masalahnya, apa kita sudah siap?. Riset PSEKP 2005, tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas Regional dan Penetapan Modalitas Perjanjian Multilateral di Sektor Pertanian mendapatkan bahwa bagi petani Indonesia kebijakan ini menyebabkan mereka mengalami kehilangan surplusnya, khususnya pada komoditas kelapa dan minyak kelapa, cerutu, biji kakao dan jagung. Kebijakan ini kurang efektif bagi peningkatan perekonomian Indonesia, namun menguntungkan Malaysia, Brunei Darussalam, Jepang dan Korea Selatan.

Lalu, penelitian tahun 2008 tentang respon Usahatani Skala Kecil terhadap Liberalisasi Perdagangan, salah satu pointnya usahatani skala kecil belum dapat meresponnya untuk kepentingan kesejahteraan rumah tangga petani. Lha, bukankah usahatani kecil masih mendominasi pertanian kita?. Jadi, saran ini, maaf-maaf saja Mister, ....... tengkyu aja deh. Riset lain yang melihat dampak buruk perdagangan pada petani kecil sangat banyak, misalnya paper “WTO Kill Farmer”, oleh AFA and ASIADHRRA, 2005.

“Subsidi pupuk yang berbiaya tinggi perlu diganti dengan skema kupon”.

Betul, mereka sangat anti subsidi, ..... kalo untuk negara orang. Kalo di negaranya sendiri sih, ... subsidi harus. Ga adil banget ya.

“Rekomendasi OECD tentang swasembada pangan memang kuat sekali. Meski demikian, Kementerian Pertanian akan tetap fokus pada swasembada pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan”.

Betul, dukung swasembada pangan terus. Apapun kata mereka, kita punya fikiran sendiri dan sikap sendiri kok. Sekali lagi, terima kasih atas saran-sarannya. Tapi, ....... mudah-mudahan ini cuma saran ya. Bagaimana kalau ini dipaksakannya, melalui berbagai cara, kasar sampai halus. Ga bisa terbuka, ia main dukun. Gawat juga. Soal beli membeli ia kan pintar, ada aja kali orang yang bisa dibeli olehnya.

Ingat kejujuran John Perkins  dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man”. Disini Perkins secara jujur mengakui sebagai rekutmen terselubung oleh United States National Security Agency dan tercantum sebagai penerima gaji dari perusahaan konsulatan internasional. Dia bekerja di banyak negara yaitu di Indonesia, Panama, Ekuador, Kolumbia, Saudi Arabia, Iran dan negara strategis lainnya. Pekerjaannya adalah menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan korporatokrasi (pemerintah, bank dan korporasi) Amerika Serikat, sambil menyatakan minat mengurangi kemiskinan. Wow, gawat juga nih.

*****