Sikap
penyuluh seperti ini merupakan dampak dari kesalahan pemahaman tentang posisi
tenaga penyuluh. Kekeliruan ini dimiliki oleh media massa, serta bahkan pada penyuluh
itu sendiri. Semestinya, penyuluh bukannya tidak harus malu, namun justeru
harus semakin dekat dengan petani. PPL bersama-sama dengan petani dan
stakeholders lain harus saling membantu untuk memecahkan hambatan ini. PPL jangan
meninggalkan petani sendiri dengan berbagai persoalannya.
Pemahaman
yang kurang tepat tentang siapa penyuluh dan bagaimana seharusnya
memposisikannya, merupakan masalah yang berulang sejak zaman Bimas tahun
1960-an. Posisi penyuluh menjadi ajang tarik ulur semenjak tahun 1970-an awal
sampai era reformasi sekarang. Karena itulah, tokoh-tokoh penyuluhan dengan
gigih telah berusaha memperjuangkan posisi yang ideal bagi penyuluh di hadapan
pemerintah. Mereka berusaha mendesakkan kebijakan yang kuat dan tegas, dengan
memimpikan posisi yang terpisah dari pemerintah.
Mimpi
ini mulai terwujud sebagai mana tercantum dalam UU No 16 tahun 2006. UU ini
merupakan impian dari kalangan ahli penyuluhan semenjak dahulu, yaitu “membebaskan”
posisi penyuluh dari perangkap sebagai petugas pemerintah. Penyuluh bukanlah semata
hanya pelaksana program-program pemerintah. Peran utama penyuluh adalah sebagai
pendidik petani, lebih mulia dari sekedar staf lapang belaka.
Sebagaimana
jelas terbaca pada UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan; penyuluh bekerja untuk peningkatan sumber daya
manusia. Pada Pasal 1 disebutkan, bahwa sistem penyuluhan adalah seluruh
rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku
utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Intinya, penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran, bukan semata
petugas lapang yang hanya memperlancar pelaksanaan program.
Dalam
kondisi saat ini dimana pelayanan prasarana pertanian tidak sesuai harapan,
semestinya penyuluh tetap mendampingi petani, mendiskusikan dan mencari solusi
kreatif dari apa sumber daya yang ada dan mungkin dijalankan. Soal “rasa malu”
tersebut tidaklah pada tempatnya. Perasaan ini timbul karena penyuluh memposisikan
dirinya sebagai orang pemerintah, karena mereka PNS. Padahal, PPL adalah agen of change, bukan semata agen
pembangunan. Meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya adalah tujuan
utama dari pembangunan pertanian; dimana program pembangunan hanyalah salah
satu alat belaka.
Penyuluh di era Bimas memang tumpang tindih dengan posisi sebagai pelaksana program. Mereka tidak sempat mempraktekkan sistem kerja yang ideal, dan terperangkap dalam metode “dipaksa, terpaksa, dan terbiasa”. Saat ini, semestinya metode ini sudah harus ditinggalkan.
Sebagai
tindak lanjut dari amanat UU di atas, Kementerian Pertanian telah menluncurkan
program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Program ini merupakan upaya
mendudukkan, memerankan, memfungsikan, dan menata kembali penyuluhan pertanian
agar terwujud satu kesatuan pengertian korps penyuluh, satu kesatuan arah dan
satu kesatuan kebijakan. Salah satu tujuan dari RPP adalah meningkatkan
kuantitas dan kualitas penyuluhan, serta memenuhi jumlah tenaga Penyuluh
Pertanian yang belum memadai.
Pemerintah
mengimpikan komposisi “satu desa satu penyuluh”. Namun, dari total 74.683 desa di
Indonesia, jumlah penyuluh pertanian PNS belum sampai setengahnya. Sampai tahun
2010, jumlah penyuluh PNS baru sebanyak 27.922 orang. Untuk menutupi ini
diambil kebijakan untuk mengangkat Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh
Pertanian (THL-TBPP). Sampai pada tahun 2009, telah ada sebanyak 24.608 orang
tenaga THL. Sayangnya, tidak sebagaimana PPL di era 1980-an, mereka tidak
memperoleh pelatihan dan dukungan yang cukup. Mereka tidak cukup bekal untuk
menghadapi petani. Bekal teknisnya lemah, sedangkan kemampuan manajemen dan
sosiologis dasar tentang petani dan masyarakat desa juga rendah.
Persepsi
yang juga keliru adalah memandang bahwa penyuluh hanya PPL yang bersatus PNS.
Dalam UU yang baru ini, ada pula PPL dari kalanga swasta serta petani yang
disebut dengan “PPL swadaya”. Ketiga macam PPL ini bekerja bersama memberdayakan
seluruh pelaku usaha pertanian dengan meningkatkan kemampuan melalui penciptaan
iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian
peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi. Selain itu,
mereka juga bertugas melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan,
dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Sampai
saat ini, pengembangan PPL swasta dan swadaya belum memiliki program yang jelas
dan memadai. Persoalan pupuk dan benih yang langka dan mahal akan lebih mudah
diurai jika PPL dari PNS dapat menjalin kerjasama untuk saling menolong dengan
PNS swasta dan swadaya.
******