Indonesia ga usah swasembada ?

Judul: “OECD: Pertanian RI Salah Arah. Fokus pada Pencapaian Swasembada Pangan
Harian Kompas,  11 Oktober 2012.
(Keterangan: yang ditulis HITAM-ITALIC adalah tulisan asli dari berita tersebut, dan yang BIRU-TEGAK adalah komentarnya).
                                                          
“Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dalam laporannya menyatakan perhatian Indonesia terhadap pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada merupakan kebijakan yang salah arah. Skema subsidi pertanian baik subsidi pupuk maupun raskin perlu direformasi. OECD juga mendorong agar Indonesia meningkatkan investasi sektor pertanian, membuka lebih luas pasar produk pertanian dalam perdagangan internasional, dan mulai meninggalkan tujuan swasembada pangan”

Saran ini sangat menyentak, terutama point untuk membuka pasar dan meninggalkan tujuan swasembada. Maksudnya bahwa kita ga usah swasembada, gantungkan saja pada pasar? Wah ini pendapat yang bakal menuai protes keras. Betapa sering kita diskusi bagaimana agar mencapai swasembada, semua program diarahkan untuk mencapai swasembada, semua daya dan upaya kita tumpahkan demi swasembada; OECD bilang ga perlu. Wow ini sangat-sangat ga bisa diterima.

Presiden Sukarno, dan bahkan sampai sekarang, presiden dan pejabat-pejabat pemerintahan berkali-kali menyampaikan bahwa pangan adalah urusan hidup mati, kehormatan bangsa, identitas kita, dst. Artinya, pangan ga butuh analisis ekonomi lagi. Bukan soal rugi atau untung, ga penting kita ga kompetitif; ..... pangan harus kita penuhi sendiri. Ini sikap kita, titik. Ga pakai debat-debat lagi.

Memang, benar juga, kadang-kadang kita ga konsisten juga. Sementera  yang lain sibuk pidato, entah beneran entah tidak, para importir kedelai dan jagung sibuk kasak-kusuk sendiri. Ini bisnis yang besar Bro, ratusan milyar bahkan trilyunan. Siapa sudi periuk nasinya kering.

“Demikian hasil kajian OECD yang disampaikan ke Kementerian Pertanian, Rabu (10/10), di Jakarta. OECD merupakan organisasi kerja sama ekonomi pembangunan yang beranggotakan negara-negara maju, di antaranya AS, Inggris, Australia, Kanada, Jepang, dan Jerman”.

Pantas lah mengapa pendapat mereka demikian. Rupanya hampir seluruh anggotanya adalah negara maju. Lihat webnya di: http://www.oecd.org/ ga ada negara Selatan yang masuk jadi anggotanya. Ya jelas aja cara fikirnya beda.

“Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD Ken Ash mengungkapkan, kajian kebijakan pertanian OECD mendorong penanaman modal swasta yang berkelanjutan pada sektor pertanian Indonesia. Ini penting guna meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, memaksimalkan manfaat pembangunan dari sektor pertanian yang kuat, dan mencapai ketahanan pangan”.

Masuknya swasta di subsektor pangan agak riskan, kalau di perkebunan oke lah. Pelaku pertanian pangan (setidaknya padi, jagung, dan kedelai) adalah petani-petani kecil. Mereka akan tersingkir, ga akan mampu menyaingi efisiensi dan efektivitas perusahaan swasta.

“Diversifikasi produksi padi dengan komoditas bernilai tinggi, seperti tanaman buah dan sayuran serta tanaman perkebunan, telah berkontribusi pada peningkatan penghasilan dan akses pangan banyak rumah tangga tani. Adanya kemajuan lebih lanjut ke sana dimungkinkan. OECD juga menyebutkan, proteksi terhadap impor menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi pertumbuhan produktivitas pertanian, dan meningkatkan biaya pangan untuk konsumen masyarakat miskin”.

Ini saran yang sudah basi. Apa ini terkait dengan direvisinya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang impor hortikultura ya? Kebetulan waktunya deketan sih. Sikap pemerintah yang sebelumnya galak agak melunak pada PP terakhir ini.

“Kebijakan non-tarif yang lebih terbuka akan mendorong perdagangan dan memungkinkan konsumen Indonesia mengakses pangan di pasar internasional dengan lebih baik”.
Jelas, mereka sangat mendorong kita masuk pasar. Masalahnya, apa kita sudah siap?. Riset PSEKP 2005, tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas Regional dan Penetapan Modalitas Perjanjian Multilateral di Sektor Pertanian mendapatkan bahwa bagi petani Indonesia kebijakan ini menyebabkan mereka mengalami kehilangan surplusnya, khususnya pada komoditas kelapa dan minyak kelapa, cerutu, biji kakao dan jagung. Kebijakan ini kurang efektif bagi peningkatan perekonomian Indonesia, namun menguntungkan Malaysia, Brunei Darussalam, Jepang dan Korea Selatan.

Lalu, penelitian tahun 2008 tentang respon Usahatani Skala Kecil terhadap Liberalisasi Perdagangan, salah satu pointnya usahatani skala kecil belum dapat meresponnya untuk kepentingan kesejahteraan rumah tangga petani. Lha, bukankah usahatani kecil masih mendominasi pertanian kita?. Jadi, saran ini, maaf-maaf saja Mister, ....... tengkyu aja deh. Riset lain yang melihat dampak buruk perdagangan pada petani kecil sangat banyak, misalnya paper “WTO Kill Farmer”, oleh AFA and ASIADHRRA, 2005.

“Subsidi pupuk yang berbiaya tinggi perlu diganti dengan skema kupon”.

Betul, mereka sangat anti subsidi, ..... kalo untuk negara orang. Kalo di negaranya sendiri sih, ... subsidi harus. Ga adil banget ya.

“Rekomendasi OECD tentang swasembada pangan memang kuat sekali. Meski demikian, Kementerian Pertanian akan tetap fokus pada swasembada pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan”.

Betul, dukung swasembada pangan terus. Apapun kata mereka, kita punya fikiran sendiri dan sikap sendiri kok. Sekali lagi, terima kasih atas saran-sarannya. Tapi, ....... mudah-mudahan ini cuma saran ya. Bagaimana kalau ini dipaksakannya, melalui berbagai cara, kasar sampai halus. Ga bisa terbuka, ia main dukun. Gawat juga. Soal beli membeli ia kan pintar, ada aja kali orang yang bisa dibeli olehnya.

Ingat kejujuran John Perkins  dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man”. Disini Perkins secara jujur mengakui sebagai rekutmen terselubung oleh United States National Security Agency dan tercantum sebagai penerima gaji dari perusahaan konsulatan internasional. Dia bekerja di banyak negara yaitu di Indonesia, Panama, Ekuador, Kolumbia, Saudi Arabia, Iran dan negara strategis lainnya. Pekerjaannya adalah menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan korporatokrasi (pemerintah, bank dan korporasi) Amerika Serikat, sambil menyatakan minat mengurangi kemiskinan. Wow, gawat juga nih.

*****